KENAIKAN HARGA BBM
Setiap
menjelang kenaikan harga BBM seperti saat ini, selalu saja ada banyak pihak
yang mendadak lebih sibuk dari biasanya. Ada yang siap-siap untuk berdemo, ada
yang sedang bersiap untuk dicaci-maki karena kebijakannya yang dipandang kurang
populis, ada yang sibuk menghitung untung dan rugi, dan ada pula yang sedang
bersiap berganti peran akan berpihak pada siapa nantinya.
Bagi
rakyat, apalagi menjelang bulan puasa dan Idul Fitri seperti saat ini, kenaikan
harga BBM tentu akan sangat mencekik mereka. Apalagi kalau bukan karena harga
kebutuhan pokok yang ikut melompat tinggi.
Bagi
kebanyakan rakyat kecil yang memang tidak terlalu mau tahu, alasan-alasan yang
digunakan oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM memang bukan hal pantas
untuk diucapkan. Lalu apa bedanya pemerintah yang berisi orang-orang pandai,
memiliki kemewahan, dan fasilitas kelas atas itu jika dibanding dengan rakyat. Kalau
mencari solusi yang lebih baik dari opsi menaikkan harga BBM saja tidak bisa,
berpikir kritispun enggan.
Sedangkan
bagi kaum pemikir, baik yang biasanya menganalisis lewat keahlian berpikirnya
di berbagai media, maupun yang berpikir dan melakukan aksi turun ke jalan untuk
membela rakyat. Ditambah yang akhir-akhir ini semakin memenuhi sudut-sudut
berita, yaitu yang tidak berpikir dan berpura-pura memihak rakyat (yang bisanya
hanya menciptakan kerusuhan umum).
Kaum
pemikir ini tentu memiliki analisis tersendiri mengenai isu BBM, tentunya jika
masih mau berpikir dan menghitung dari sudut pandang keilmuannya masing-masing.
Pemikiran orang ekonomi tentu berbeda dengan orang dari bidang energi, begitu
juga orang dari bidang matematika akan tidak sama hitungannya dengan orang dari
bidang politik.
Namun,
sejauh yang saya dengar dari banyak hasil analisis akademis, sebagaian besar
hasilnya adalah memang sudah saatnya harga BBM naik. Alasannya macam-macam,
demi keamanan APBN, efisiensi subsidi, hingga peluang pengembangan energi
terbarukan.
Menurut
banyak kaum pemikir subsidi yang tidak tepat sasaran sudah saatnya diputus.
Subsidi BBM yang konon kabarnya banyak dinikmati orang-orang menengah ke atas
itu sangat menyedot APBN, dan bahkan sangat mengurangi anggaran untuk riset dan
pengembangan infrastruktur. Sehingga apabila tidak segera dihentikan,
kesempatan untuk mengembangkan sumber energi baru menjadi terhambat.
Bagi
pemerintah pun kira-kira juga tidak kalah sibuk. Kalau dilihat dari beberapa
hari belakangan, pemerintahpun diserang bertubi-tubi dari segala arah. Dari
sisi atas, bawah, belakang, depan, kiri, dan kanan. Dan yang paling kentara
adalah serangan dari dalam dan dari luar. Serangan dari dalam tentu
dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan yang ada.
Jangan
lupa satu hal, isu kenaikan harga BBM ini merupakan dagangan politik yang
sangat laku di pasaran, sedangkan bagi pejabat yang memang sudah tidak ingin
atau memang sudah tidak bisa mencalonkan diri, dan untuk partai politik yang
mungkin cadangan uang kasnya sudah bertumpuk, mendukung kenaikan harga BBM
memang tidak menjadi soal. Tentunya pemerintah harus bersiap, menyiapkan
pengaman sekuat mungkin untuk meredam serangan-serangan tersebut, luar maupun
dalam, baik itu berupa cacian, perusakan, hingga penghianatan.
Pemerintah
sebenarnya juga dipenuhi dengan kaum yang berlatar belakang pemikir
(akademisi). Apalagi kalau dilihat dari gelar yang berderet pada
nama-nama pejabat itu, pemikirannya seharusnya juga amat tinggi, setinggi
pendidikan yang telah ditempuhnya. Untuk menghadapi guru besar saat sidang
doktor saja mampu, masak berpikir yang terbaik untuk semua pihak saja tidak
mampu, atau mungkin tidak mau? Entah kenapa, jalan kemurnian berpikir itu pada
akhirnya juga akan kalah dengan paksaan politik.
Kenaikan
BBM memang bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan sudah
berkali-kali. Yang kemudian menjadi tradisi adalah, kenapa setiap kenaikan BBM
selalu dibarengi dengan naiknya harga kebutuhan.
Bahkan
sebelum harga BBM benar-benar naikpun, harga-harga kebutuhan sudah nangkring lebih tinggi. Bukankah
negara ini punya lembaga yang kira-kira juga berfungsi menjadi stablisator harga-harga
kebutuhan di pasaran. Bukankah kita memiliki kementerian yang memang bertugas
langsung mengatur harga-harga tersebut, lalu kenapa sudah sejak lama tradisi
kenaikan harga kebutuhan harus terjadi apabila harga BBM dinaikkan, apakah
pengalaman bertahun-tahun lalu itu tidak cukup sebagai bahan analisis pembuatan
kebijakan.
Untuk
membuat kebijakan yang setidaknya membuat harga kebutuhan tidak ikut naik
apabila harga BBM dinaikkan. Atau kalau memang sangat sulit, setidaknya bisa
meminimalisir besaran kenaikan harga kebutuhan di pasaran. Sebetulnya cukup
sederhana kenapa rakyat selalu berteriak apabila harga BBM naik, adalah ikut
naiknya harga kebutuhan di pasaran.